Selasa, 23 November 2010

Makalah Filsafah

PENDAHULUAN

Pendidikan jasmani memerlukan olahraga sebagai upaya untuk menjalankan fungsi serta mencapai tujuannya. Terdapat mata rantai antara pendidikan jasmani dan olahraga yaitu olahraga – ilmu olahraga – pendidikan jasmani. Mata rantai tersebut dapat diartikan bhwa di dalam kegiatan olahraga terkandung ilmu olahraga. Olahraga harus memenuhi tiga kriteria sebagai ilmu mandiri yaitu obyek, metode, dan pengorganisasian yang khas. Agar lebih terarah dan berfungsi, ilmu olahraga disampaikan melalui pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani menurut konsep pedagogistik adalah mata pelajaran yang berfungsi mendidik atau membentuk individu melalui gerak jasmani. Cara pandang masyarakat terhadap pendidikan jasmani berbeda – beda. Sebagian masyarakat menganggap pendidikan jasmani tidak terlalu penting, hanya sebagai pelengkap kurikulum pembelajaran. Sebagian lain menilai pendidikan jasmani penting untuk perkembangan jasmani dan jiwa. Adanya pandangan bahwa pendidikan jasmani tidak begitu penting karena terjadi krisis identitas dalam pendidikan jasmani. Pihak – pihak yang berkecimpung di dalam olahraga belum meneliti keampuhan pendidikan jasmani. Walaupun mereka sudah lama memiliki pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin, dan nilai positif lainnya. Fenomena seputar pendidikan jasmani dan olahraga tersebut memerlukan filsafat untuk mencari solusi dan mengembangkannya.










PEMBAHASAN

Filasafat dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir, senantiasa berkeinginan untuk mencari nilai dan fakta nyata dalam kehidupan serta mengevaluasi dan menafsirkannya sedapat mungkin, tanpa terjadi bias dan pasangka. Filsafat dapat menyeimbangkan perasaan dan logika. Kebutuhan hidup manusia meliputi banyak aspek. Filsafat dibutuhkan untuk mencari jawaban dari semua masalah dan pertanyaan seputar kehidupan manusia. Dahulu, bangsa manusia percaya pada mitos-mitos. Mereka menirukan apa yang dilakukan nenek moyang mereka pada zaman dahulu. Padahal, apa yang dilakukan oleh mereka biasanya tidak bisa dijelaskan menurut akal sehat. Misalnya saja, melakukan suatu ritual untuk mencegah datangnya hujan. Tentu saja itu semua tidak masuk akal. Bahkan, bisa menjerumuskan dalam lubang kemusyrikan. Mereka lebih percaya kepada roh-roh nenek moyang dari pada kepada Tuhan. Lambat laun, kebiasaan mereka mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh majunya ilmu pengetahuan. Sains bisa menjelaskan semua fenomena alam. Menjelaskan terjadinya hujan, bahkan berbagai bencana alam yang terjadi. Petir bukan tercipta dari palu dewa dan suara guntur bukan pula ulah dewa. Semua itu adalah fenomena alam yang bisa dijelaskan dengan adanya sains dan tentunya dengan penjelasan yang masuk akal.
 Persetujuan umum mengenai filsafat dimulai di Yunani, tampaknya masuk akal juga. Sebab sejak abad ke–6 SM perdagangan berkembang pesat. Perdagangan secara tidak langsung mendorong mereka untuk berpikir untuk dapat terus menghasilkan karya cipta. Petualangan dan pemikiran mereka menghantarkan pada filsafat. Bangsa Yunani turun temurun mengaitkan segala sesuatunya dengan dewa, mulai berani berpikir mengenai dunia tanpa terlebih dulu berpikir mengenai dewa. Perkembangan pemikiran tersebut beda dari apa yang biasa menjadi kepercayaan berpikir mereka. Hal ini menunjukkan pertanda adanya filsafat.
Beberapa filsafat para tokoh Yunani terbukti secara nyata. Sehingga mereka terdorong untuk berlomba – lomba berfilsafat. Filsafat tiap tokoh berbeda, terkadang terkesan benar sendiri. Ini bukan kesalahan, melainkan terjadi keragaman yang ikut berperan serta dalam perkembangan struktur kehidupan segala aspek  di bumi. Buktinya mereka yang ada di Alexandria setelah berfilsafat, terbukti kebenarannya, dan menghasilkan sains, berani berpikir tanpa mengaitkan dengan dewa. Ini merupakan salah satu bukti filsafat mampu mengubah peradaban manusia. Bagi ilmu pengetahuan, filsafat bernilai ontologik, epistemologi, estetika, dan etik. Sehingga ilmu pengetahuan yang bercabang tetap memiliki keterkaitan dan dapat dipahami.
Beberapa aliran filsafat pernah ada dan berpengaruh besar dalam kehidupan pada umumnya, khususnya dalam dunia pendidikan, juga dalam dunia pendidikan jasmani. Aliran – aliran filsafat yang cukup populer, seperti dikutip Adang Suherman (2000), yaitu Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Naturalisme, dan Eksistensialisme.
Penjelasan masing – masing aliran filsafat tersebut sebagai berikut :
Idealisme
Aliran idealisme meyakinkan bahwa pikiran merupakan kunci terhadap segala sesuatu. Filsuf dari Greek, Plato, merupakan tokoh yang diakui sebagai Bapak Idealisme. Aliran ini menganggap bahwa pemikiran mempunyai pengaruh yang sangat kuat dan oleh karena itu objek yang bersifat fisik pada dasarnya merupakan cerminan dari pemikiran. Para penganut aliran idealisme ini menilai bahwa manusia jauh lebih penting daripada alam.
Realisme
Aliran filasafat ini cenderung menentang filsafat idealisme. Beberapa pandangan yang mengemuka pada aliran idealisme seperti berikut :
Aspek fisik merupakan dunia nyata.
Semua kejadian di dunia merupakan hasil dari hukum alam.
Kebenaran ditentukan oleh metode ilmiah.
Pikiran dan tubuh mempunyai hubungan erat dan harmonis.
Agama dan filsafat dapat muncul seiring.
Pragmatisme
Aliran filsafat ini sering disebut juga aliran eksperimentalisme, yang menganggap pengalaman sebagai kunci untuk keberhasilan hidup. Aliran pragmatisme menganggap bahwa pengalaman merupakan penyebab terjadinya perubahan konsep tentang realitas.
Naturalisme
Aliran filsafat ini disebut juga aliran materialisme yang menganggap bahwa sesuatu yang mempunyai nilai adalah sesuatu yang secara fisik nampak. Aliran naturalisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada hanya akan diakui keberadaannya apabila nampak secara fisik.
Eksistensialisme
Aliran filsafat ini disebut juga aliran filsafat modern, yang menjadi perhatian utamanya adalah keberadaan  individu secara utuh. Paham aliran eksistensialisme berpendapat bahwa keberadaan individu lebih penting daripada masyarakat.
(  Margono, 2007: 23 )
Definisi tentang pendidikan jasmani pernah dirumuskan sebagai rujukan nasional ( Mendikbud 413 / U / 1957 ) mengungkapkan fungsi pendidikan jasmani untuk memberikan sumbangan terhadap pendidikan secara menyeluruh: “Pendidikan jasmani adalah bagian integral daripada pendidikan melalui aktifitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskkular, intelektual, dan emosional”. ( Rusli Lutan, 2001: 65 ). Berikut disajikan dengan bentuk sederhana, bagaimana pandangan beberapa aliran filsafat terhadap pendidikan jasmani :
Idealisme
Pendidikan jasmani tidak hanya sekedar melibatkan fisik semata, pendidikan jasmani harus memberikan kontribusi terhadap perkembangan peserta didik secara menyeluruh.
Aktivitas kesegaran jasmani memberi kontribusi terhadap perkembangan kepribadian seseorang.
Pendidikan jasmani merupakan pusat berbagai gagasan, pembelajaran pendidikan jasmani harus berorientasi pada peserta didik agar dapat menumbuhkan kreativitas.
Guru harus menjadi model peserta didik, guru dapat menjadi contoh yang layak ditiru.
Pendidikan jasmani ditujukan untuk kehidupan, pengembangan fisik dan pengetahuan harus seimbang.
Realisme
Pendidikan jasmani ditujukan untuk kehidupan pada umumnya.
Kesegaran jasmani merupakan hasil dari produktifitas.
Program pendidikan jasmani didasarkan pada pengetahuan ilmiah.
Pengulangan memegang peranan penting dalam proses belajar pendidikan jasmani.
Pendalaman ilmu keolahragaan dapat menyebabkan kehidupan sosial lebih baik.
Bermain dan rekreasi dapat membantu kemampuan beradaptasi.
Pragmatisme
Pengalaman akan lebih bermakna manakala siswa memperoleh aktivitas secara bervariasi.
Pendidikan jasmani bertujuan untuk peningkatan kemampuan sosial peserta didik.
Program pendidikan jasmani ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik.
Pembelajaran pendidikan jasmani diperoleh melalui metode pemecahan masalah.
Guru sebagai motivator.
Standardisasi bukan merupakan bagian dari program pendidikan jasmani.
Naturalisme
Aktifitas fisik bukan sekedar fisik.
Hasil belajar diperoleh melalui aktifitas dirinya sendiri.
Bermain merupakan bagian penting dari proses pendidikan.
Prestasi bertanding yang tinggi diantara individu tidak dikondisikan.
Pendidikan jasmani berkaitan dengan pengembangan individu secara utuh.
Eksistensialisme
Dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani sebaiknya peserta didik diberi kebebasan memilih.
Pendidikan jasmani harus terdapat banyak pilihan.
Permainan merupakan produk dari perkembangan kreatifitas.
Peserta didik dianggap mengenal dirinya sendiri.
Guru harus dapat berperan sebagai konsultan.
(  Margono, 2007: 25)
Menurut pandangan filsafat modern, dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani harus memperlakukan peserta didik secara individual, dengan memperhatikan kebutuhan minat dan masalah yang dihadapi peserta didik secara spesifik. Dalam pandangan filsafat modern, para peserta didik cacat atau berkebutuhan khusus harus diperhatikan dalam program pendidikan jasmani.
Menurut pandangan filsafat humanisme mendukung keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk individu dan harus diperlakukan sebagai individu secara utuh. Guru pendidikan jasmani harus mendorong siswa untuk mengaktualisikan diri dan memenuhi kebutuhannya secara individu.
Aliran – aliran filsafat tersebut secara garis besar berpandangan bahwa pendidikan jasmani menggunakan aktifitas jasmani untuk mendapatkan pengalaman yang akan memberi kontribusi terhadap peserta didik secara menyeluruh. Ini berarti pendidikan jasmani tidak hanya bertujuan membentuk fisisk. Pendidikan jasmani berpengaruh pada kehidupan peserta didik sebagai makhluk individu dan sosial. Sehingga sebagai konsultan, guru pendidikan jasmani harus memberikan pengarahan bagaimana siswa menempatkan diri sebagai individu dalam kehidupan sosial.
Fenomena yang paling konkret sebagai objek formal ilmu keolahragaan adalah gerak – laku manusia dalam bentuk gerak insani, terutama keterampilan gerak yang dapat dikuasai melalui proses belajar. Gerak insani yang juga mencerminkan puncak kreatifitas manusia itu, dilakukan secara sadar dan bertujuan. Manusia menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak insani inilah yang menjadi medan pergaulan yang bersifat mendidik antara peserta didik sebagai aktor, atau pelaku, dan pendidik sebagai auctor, atau pengarah, sekaligus fasilitator, meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Prof. Klaas Rijsdorp (1973).
Realisasi keterampilan gerak itu tidak dapat dicabik dan dipisahkan dari tata latar lingkungannya, sehingga keterampilan gerak itu terbentuk dalam aneka bentuk respons dan transaksi antara individu dan lingkungan sosial – budaya yang membentuk penghayatan penuh makna diantara kedua pihak. Gerak insani yang menjadi objek formal ilmu keolahragaan merupakan  fenomena yang kompleks, mencakup dimensi sosio – psiko – bio – kultural sebagai akibat aneka aktifitas jasmani yang diperagakan individu atau dalam suasana berkelompok itu digelar di tengah kehidupan bermasyarakat, dalam sistem kehidupan yang nyata, yang terkontrol oleh tradisi, nilai dan norma, disamping terikat langsung oleh keterbatasan kapasitas kemampuan biologik itu sendiri.
Pengungkapan gerak insani itu merupakan perilaku gerak manusia yang universal, tanpa memandang latar belakang agama, budaya, suku bangsa, atau ras. Namun dalam pelaksanaanya, kegiatan yang berintikan gerak keterampilan jasmaniah dan berporos pada sifat – sifat permainan itu, tetap bertumpu pada etika dan kesadaran moral , karena olahraga bukanlah ungkapan naluri yang rendah atau nafsu kekerasan, tetapi merupakan ekspresi sifat – sifat manusia yang kreatif dan indah yang kemudian bermuara pada kehidupan yang manusiawi dalam pengertian sejahtera paripurna, bukan sehat jasmaniah semata, tetapi melingkup kesehatan aspek mental, emosional, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga adalah tercapainya kesejahteraan paripurna manusia.
Aspek etika dalam pendidikan jasmani dan olahragaadalah fair play. Fair play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan perhubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis. Fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria dalam olahraga. Sehingga memunculkan sikap ksatria pada atlet yang menolak kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Maka ada mekanisme psikologis yang mengontrol terhadap kepatutan suatu perbuatan dan kesanggupan untuk memajukan diri agar patuh pada standar moral yang tinggi. Bisa diartikan bahwa pencapaian kemenangan sebagai konsekuensi dari berusaha keras. Bukan dari nasib atau faktor keberuntungan. Fair play memang mudah diucapkan, tetapi cukup sukar dipraktekkan, bukan saja dalam olahraga tetapi juga dalam semua bentuk kegiatan dalam kehidupan sehari – hari. Fair play merupakan budaya dalam dunia pendidikan jasmani dan olahraga yang mulai luntur. Meskipun demikian, fair play masih bisa dididik dan dibiasakan.
Setiap atlet harus ditanamkan jiwa fair play sejak dini. Agar atlet termotivasi untuk meraih kemenangan yang sebenarnya. Meraih kemenangan bukan hanya terbatas pada keberhasilan mengalahkan lawan atau meraih gelar juara. Tetapi, berhasil mengalahkan lawan melalui proses yang sesuai peraturan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Apabila atlet terbiasa bertanding secara fair play, maka kebiasaan mentaati peraturan dan menghargai orang lain akan terealisikan dalam kehidupan sehari – hari. Harus disadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani, namun juga disertai sopan santun dan nilai moral dalam pelaksanaanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani memberikan kontribusi dalam penanaman moral serta membentuk karakter pelakunya. Persoalannya adalah bagaimana menerapkan nilai moral dan prinsip sehingga menjadi landasan sportif ?
Maksud baik adalah bermain dengan memperlihatkan sportifitas dan maksud jahat adalah bermain dengan tipu muslihat. Tindakan nyata itu ditujukan pada pencapaian tujuan permainan berupa peragaan performa sebaik – baiknya, sedangkan tindakan jahat berupa perbuatan curang, melukai lawan, menciderai pemain andalan lawan, dan lain – lain. Karena itu, tindakan nyata, baik yang ideal maupun yang diperagakan sebenarnya, dipengaruhi oleh motif dan maksud berbuat yang semuanya itu berpangkal pada persepsi. Persepsi tabu kalah dalam bertanding dapat mendorong atlet untuk melakukan apa saja agar meraih kemenangan. Atlet seharusnya menyadari bahwa kalah bukan berarti pecundang apabila dalam bertanding ia berusaha maksimal tanpa melakukan kecurangan.
Dalam proses penalaran moral, nilai biasanya ditulis secara khusus yang disebut prinsip. Prinsip merupakan tuntunan yang bersifat universal yang akan mengatakan apa tindakan, maksud, dan motif yang dilarang, diizinkan, atau yang menjadi kewajiban. Prinsip adalah pernyataan tertulis yang bersifat umum, atau aturan utama. Tak ada aturan yang lebih penting daripada prinsip. Prinsip adalah aturan yang paling tinggi. Karena sifatnya yang universal dapat ditarik aturan dari padanya.
Dengan menempatkan sistem nilai ke dalam bentuk yang universal maka dapat digunakan sistem nilai itu sebagai rujukan yang paling teguh untuk mengatasi masalah yang rumit untuk dipecahkan. Nilai moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas, dan lain – lain. Bagaimanakah kita dapat memilih nilai moral yang cukup banyak jumlahnya itu? tugas ini tidak mudah. Namun demikian, ada sumber yang paling sahih untuk memilih nilai moral itu, yaitu agama – agama besar, seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan kepercayaan lainnya. Ajarannya mengandung nilai inti yang bersifat universal dan dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Dalam keanekaragaman nilai itu, maka dapat diperoleh sari patinya. Ada empat nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal sebagai berikut.
Nilai moral pertama adalah keadilan. Di seluruh dunia, keadilan selalu dikumandangkan dan dicari setiap orang, meskipun tak kunjung dicapai. Keadilan itu ada dalam beberapa bentuk: distribuif, prosedural, retributif, dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif, dikaitkan dengan hasilnya. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Keempat bentuk keadilan itu melekat pada pembuatan keputusan dan penalaran moral dalam dunia olah raga.
Nilai moral kedua adalah kejujuran. Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu, atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindakan dan perkataan.
Nilai moral ketiga adalah tamggung jawab. Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri.
Nilai moral keempat adalah kedamaian. Kedamaian mengandung pengertian tidak akan menganiaya, mencegah penganiayaan, menghilangkan penganiayaan, dan berbuat baik.
Tindakan kekerasan masih membayangi pertandingan olahraga. Bahkan makin meningkat, bukan bertambah surut. Perkelahian antara ofisial dengan pemain, pemain dengan pemain, atau penonton mengeroyok wasit, dan aneka kekerasan, terutama dalam sepak bola makin marak terjadi. Bahkan penonton dengan bangga memperlihatkan perilaku kasar yang sering disebut dalam istilah “holigan” alias kebrutalan. Perilaku agresif ini jelas – jelas melanggar batas dan sangat tidak sportif. Perilaku semacam ini dikhawatirkan juga terjadi dan menular di bidang kegiatan lainnya di mana orang tidak mampu menerima kenyataan dan selalu ingin berada di pihak yang lebih untung, meskipun harus berbuat curang yang tidak terlihat di depan orang.
Memotivasi atlet untuk meraih prestasi bukan dengan menanamkan prinsip tabu kalah. Lebih baik menanamkan keempat nilai moral tersebut. Apabila hal ini dilakukan yang terjadi tidak hanya sportifitas pertandingan, tetapi juga membentuk atlet yang yang berkualitas secara fisik dan psikis. Berkualitas secara fisik maksudnya untuk mengejar prestasi tanpa melakukan kecurangan atlet akan terdorong untuk giat berlatih dan menjaga kesehatan. Sehingga kemampuan fisik meningkat dan kebugaran fisik terjaga. Berkualitas secara psikis maksudnya tanpa melakukan kecurangan, secara bertahap mental semangat bertanding dan rasa percaya diri atlet akan terbentuk. Perilaku kasar penonton sebenarnya merupakan dampak melihat kebiasaan para atlet bermain tidak secara fair play. Apabila semua atlet bertanding secara fair play, kemungkinan besar dapat meminimalisir tindak kekerasan penonton.
Perilaku fair play tidak terbatas pada moral tingkah klaku ketika bertanding. Persiapan dan proses untuk mengikuti pertandinga ternyata tetap memerlukan fair play agar etika dan sportifitas dalam olah raga tetap terjaga. Salah satu perilaku fair play dalam mempersiapkan atlet mengikuti pertandingan adalah tidak mengkonsumsi obat terlarang atau substan lainnya secar ilegal untuk meningkatkan prestasi atlet. Doping dilarang karena berpengaruh buruk pada kesehatan, psikis, dan mencemari nilai pendidikan dalam olahraga. Dampak penggunaan doping jelas merugikan kesehatan karena organ atlet dipaksa bekerja di atas batas normal. Walaupun di awal penggunaan doping berkesan menguntungkan, mampu meningkatkan tenaga dan agresifitas atlet. Namun, pada akhirnya doping  perlahan – lahan membunuh atlet. Penggunaan doping juga mengakibatkan krisis percaya diri pada atlet. Atlet merasa dirinya kurang bersemangat tanpa mengkonsumsi doping. Konsumen doping cenderung memiliki sifat pemarah akibat efek agresifitas yang ditimbulkan. Nilai pendidikan pun hilang karena doping. Sebab, masyarakat akan berpikir bahwa olahraga hanya mengandalkan jasmani dan tenaga saja tanpa menggunakan akal pikiran serta etika dalam pelaksanaanya. Penggunaan doping menyalahi etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Alasannya karena atlet tidak diperlakukan secara manusiawi, atlet diperlakukan seperti mesin. Atlet adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan harus dihargai. Tidak terelakkan apabila tujuan mengikuti pertandingan adalah meraih juara, tetapi ada yang lebih penting yaitu memenangkan pertandingan karena murni kemampuan atlet. Tujuan pendidikan jasmani dan olahraga untuk menghasilkan jiwa dan tubuh yang sehat pun hilang karena tindakan tidak fair play. Tujuan tersebut berubah menjadi alat untuk meraih materi dan status sosial semata.
Fenomena yang terkait dengan pendidikan jasmani dan olahraga tersebut menguatkan pernyataan bahwa pendididkan jasmani dan olahraga tidak hanya mengolah keterampilan jasmani. Namun disertai makna kesopanan dan moral di dalamnya. Pendidikan jasmani dan olahraga sangat penting diberikan pada semua jenjang pendidikan. Banyaknya nilai positif dalam pendidikan jasmani dan olahraga serta kontribusinya dalam kehidupan seharusnya bisa menghindarkan terjadinya krisis identitas. Namun, pada kenyataannya sebagian besar masyarakat masih berpandangan pendidikan jasmani dan olahraga tidaklah penting. Krisis identitas terjadi setidaknya karena  ada dua konsep salah dalam pendidikan jasmani (Crum, 2003). Pertama, pendidikan jasmani dikonsepsikan secara biologistik (pelatihan-dari-jasmani). Dalam konsep ini, pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran untuk melatih “organisme”. Kedua, cara pandang pendidikan jasmani dari konsep pedagogistik (pendidikan-melalui-jasmani). Dalam konsep ini, pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran yang berfungsi mendidik atau membentuk individu (bergerak untuk belajar).
Kedua konsep tersebut memiliki persamaan, yang intinya memandang sempit arti dan ruang lingkup pendidikan jasmani. Penguatan identitas pendidikan jasmani dan olahraga tersebut merupakan tanggung jawab orang – orang yang berkecimpung dalam dunia olahraga. Penguatan identitas tersebut memerlukan filsafat, dari beberapa aliran filsafat yang telah dikemukakan di depan, aliran eksistensialisme cocok digunakan untuk melakukan penguatan identitas. Bagaimana pun persepsi orang, lebih baik pendidikan jasmani dan olahraga eksis terlebih dahulu. Keeksisan memang memerlukan kesabaran, tetapi cepat atau lambat orang akan memperhitungkan keberadaannya. Aliran filsafat buah pemikiran Soren Kierkegard ini memiliki persepsi bahwa eksistensi adalah suatu kategori yang berhubungan dengan individu bukan ide universal. Eksistensi mengharuskan individu bertindak dan memilih. Masyarakat belum menyadari bahwa keeksisan pendidikan jasmani dan olahraga telah menjadi bagian hidup mereka. Olahraga pada hakikatnya bersifat netral, tapi masyarakat yang kemudian membentuk kegiatan dan memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Sehingga terbentuk pengkhususan kegiatan olahraga, yakni: (1) olahraga pendidikan, yaitu olahraga untuk mencapai tujuan yang bersifat mendidik dan sering diartikan sama dengan pendidikan jasmani; (2) olahraga rekreasi, yaitu olahraga untuk tujuan yang bersifat rekreatif; (3) olahraga kesehatan, yaitu olahraga untuk tujuan pembinaan kesehatan; (4) olahraga cacat, yaitu olahraga yang telah diadaptasikan untuk  orang – orang cacat; (5) olahraga penyembuhan, yaitu aktifitas jasmani untuk tujuan terapi; dan (6) olahrag kompetitif, yaitu olahraga untuk mencapai tujuan prestasi. Jadi, olahraga dilakukan masyarakat karena berbagai alasan penting. Nilai – nilai dan manfaat yang diperoleh masyarakat itu didapat dari partisipasi aktif sebagai pelaku dalam beberapa kegiatan yang bersifat hiburan, pendidikan, rekreasi, kesehatan, hubungan sosial, perkembangan biologis, kebebasan berekspresi, dan pengujian kemampuan dibanding diri sendiri.
Komponen masyarakat yang paling dekat dengan pendidikan jasmani dan olahraga adalah guru pendidikan jasmani. Sesuai pandangan eksistensialisme terhadap pendidikan jasmani, guru pendidikan jasmani harus berperan sebagai konsultan. Guru pendidikan jasmani harus mampu mengadaptasikan pendidikan jasmani yang disampaikan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Memberi kesempatan pada mereka untuk memilih kegiatan olahraga sesuai minat dan kemampuan, sehingga dalam menjalani pendidikan jasmani mereka tidak merasa terbebani serta tujuan pendidikan jasmani untuk perkembangan jiwa dan raga tercapai. Cepat atau lambat masyarakat akan melihat dampak positif dari pendidikan jasmani yang ditimbulkan pada peserta didik. Mereka akan membandingkannya dengan orang yang tidak melakukan olahraga atau mendapatkan pendidikan jasmani. Mereka akan menyadari pentingnya diselenggarakan pendidikan jasmani dan olahraga. Eksistensi pendidikan jasmani dan olahraga sangat diperlukan untuk menguatkan  identitas pendidikan jasmani. Proses hasil eksistensi memerlukan waktu yang tidak singkat. Namun, identitas yang dihasilkan berlaku dalam jangka panjang
Pada intinya, eksistensi pendidikan jasmani berfokus pada pada proses sosialisasi  atau pembudayaan melalui aktifitas jasmani, permainan, dan olahraga. Proses sosialisasi berarti proses pengalihan nilai – nilai budaya dari generasi tua ke generasi yang lebih muda. Seluruh kegiatan interaksi antara pendidik dan peserta didik bersifat mendidik. Perantaranya adalah tugas ajar berupa pengalaman gerak yang bermakna dan memberikan jaminan kepada perkembanagn seluruh aspek kepribadian peserta didik.
Pendidikan jasmani dan olahraga sebagai fenomena filosifis dan budaya merupakan hasil dari eksistensi pendidikan jasmani dan olahraga. Olahraga sudah menjadi sebuah budaya sejak lama. Keeksisannya mencuri perhatian masyarakat untuk mendekati, mengenal, dan mengembangkannya. Apabila eksistensi pendidikan jasmani dan olahraga dipertahankan, komponen masyarakat yang dekat dengannya meneliti keampuhannya, maka persepsi  bahwa pendidikan jasmani dan olahraga itu penting tidak akan mudah goyah.






KESIMPULAN

Pendidikan jasmani dan olahraga pada kenyataanya mengalami krisis identitas. Kalangan pendidikan jasmani membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Padahal krisis identitas akan menggerogoti pondasi pendidikan jasmani. Krisis ini berawal dari intern pendidikan jasmani. Kalangan pendidikan jasmani masih meragukan keampuhan pendidikan jasmani. Walaupun mereka sudah lama memiliki pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin, dan nilai positif lainnya. Dalam kondisi ini dibutuhkan pemikiran serius. Melalui filsafat, identitas pendidikan jasmani akan terbentuk. Usaha ini dapat dilakukan menggunakan aliran filsafat eksistensialisme. Mengedepankan eksistensi pendidikan jasmani dan olahraga dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan jasmani dan olahraga yang bertujuan mengolah jiwa dan raga ke arah positif. Aliran ini memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memilih kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga sesuai kemampuan individu. Sehingga diharapkan mereka merasakan langsung manfaat yang diperoleh. Hal ini akan membangun identitas baru bahwa pendidikan jasmani adalah penting untuk tetap dilaksanakan













DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M.H. 2008. Relasi Pemikiran Filsafat dan Pendidikan, Handout Matakuliah Filsafat Penjas dan Olahraga.

http: //gettech.tripod.com/ARSIP/filsafat.htm.

Lutan, Rusli. (2001). Menelusuri Makna Olahraga dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 27 – 69.

Lutan, Rusli. (2001). Strategi Penalaran untuk Perilaku Fair Play dalam Olahraga dan Etika Fair Play: Hal 95 – 107.

Lutan, Rusli. (2001). Fair Play dalam Praktek dalam Olahraga dan Etika Fair Play.  Hal: 108 – 143.

Lutan, Rusli. (2001). Penggunaan Doping Ditinjau dari Aspek Etika dalam Olahraga dan Etika Fair Play.  Hal: 178 – 200. 

Margono (2007). Landasan Falsafah Pendidikan Jasmani. Dalam: Asas dan Landasan Pendidikan Jasmani. Hal: 20 – 28.

Osborn, Richard. (2001). Filsafat untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.

Pramono, Made. (2003). Dasar – Dasar Filosofis Ilmu Keolahragaan (Suatu Pengantar). Jurnal Filsafat, Jilid 34, No.2.

Salam, Burhanuddin. (2005). Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Setiawan, Caly. (2004). Krisis Identitas dan Legitimasi dalm Pendidikan Jasmani. JPJI, Vol 1 NO.1.
Suhartono, Suparlan. (2007). Nilai Filsafat bagi Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Arruz Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar